Ya, ketika sesuatu berakhir, pasti
ada sesuatu baru dimulai. Entah sesuatu yang baru itu kita sukai atau tidak,
pastilah kita harus dapat menerima, kan? Pertanyaan
retoris memang, karena jawabannya pasti iya.Aku pun merenung mengingat besok adalah hari pertamaku menjadi 8th grader. Kabarnya
penempatan kelas baru ini benar-benar acak, sehingga bisa saja aku sekelas
dengan anak yang sangat tak dekat denganku, atau bahkan tak kenal sama sekali.
Sebenarnya bukan masalah yang besar sih,
hanya sekedar memikirkan saja. Sesuatu yang baru memang butuh adaptasi.
Akhirnya sebelum tidur, aku membatin, “Bismillah
aja lah.”
Keesokan harinya aku berangkat
dengan perasaan yang biasa saja. Ketika sampai dikelas baru, aku terkejut
melihat orang-orang yang ada di dalamnya. Ternyata teman-teman kelasku selama
setahun ke depan ini tidak benar-benar berbeda dari sebelumnya. Setengah dari
siswa kelas itu adalah temanku dikelas yang lama, setengah yang lainnya dari
kelas sebelah yang beberapa juga sudah kukenal.
“Din! Din! Sini!”, teriak Rani
temanku dari bangku ketiga di tengah kelas, sambil menunjuk bangku kosong di
sebelahnya. Aku yang sebelumnya memandang ke seluruh kelas pun langsung berjalan ke arahnya dengan wajah nyengir. Setelah duduk tepat di sebelah Rani, kulanjutkan
pengamatanku ke kelas baru ini. Tak hanya orang-orangnya, namun juga kondisi
fisik kelas. Kulihat ada Bima, Niko, Fani, Vanda, dan yang lainnya. Di pojok
belakang kelas ada seorang perempuan yang duduk sendirian sambil bermain HP.
Tentu saja aku kenal perempuan itu, karena dia termasuk teman sekelasku juga di
kelas 7. “Masih tetap weird ternyata”,
batinku dalam hati. Aku pun teringat setahun lalu, hari pertama menjadi seorang
siswa kelas 7, di kelas 7D.
*****
Dua orang yang
ada di depanku pun membalikkan tubuhnya ke belakang. “Lihat deh anak itu yang
rambutnya hasil rebondingan yang kayak sapu itu! Aneh banget pek kelakuannya!’,
ucap Lita memulai pembicarann. “Itu ta?”, tanyaku. “Oalah anak ituu, iya pek.
Dia kan waktu MOS se-gugus sama aku, terus dia lho sering dimarahi sama senior
soalnya mainan HP. Terus pas dimarahin gitu wajahnya gaenak banget, kayak
nantang gitu”, kata Dena. “Gerak geriknya aneh gak sih? Kayak ngganjel gitu”,
timpal Vanda yang duduk di sebelah Dena. Dalam hati aku pun menyetujui semua
yang dikatakan teman baruku itu, karena memang tingkah laku anak berkulit sawo
matang itu memang janggal. Aku pun bertanya,”Sapa namanya eh?”, “Anak itu ta?
Lusi namanya.”
*******
Aku pun tersadar
dari lamunannku ketika ditegur oleh Rani. Tapi aku tetap memikirkan si Lusi
itu. Dari kelas 7 aku memang tak dekat dengannya. Aku tak tahu siapa yang
salah, yang jelas dia memang senang menyendiri. Dulu sempat suatu hari aku
mencoba untuk mmenyapanya dan memintanya kenalan, tapi jawabanynnya sangat
dingin, dia hanya tersenyum terpaksa dan
mengucapkan sepatah kata saja, yaitu namanya. Belum lagi ketika mengucapkan
satu kata itu, dia tak menoleh ke arahku sama sekali! Sedikit menyebalkan juga
pikirku.
Rambut lurus rebondingnya itu lho! Menjadi bahan omongan
banyak anak. Bahkan sampai kakak kelas terutama yang dari MOS sudah tidak suka
dengannya. Dua bulan setelah MOS ada segerombolan anak kelas 8 datang ke
kelasku dan bertanya yang tidak jelas kepada siapa karena keras nada bicaranya.
“Eh, eh mana sih yang namanya Lusi?”, kata anak kelas 8 yang bernama Chita.
Dido-lah yang menjawab pertanyaan itu karena posisinya paling dekat dengan
mereka. “Itu, Mbak. Yang make earphone itu” “Oalaaaaaaah”, kata mereka sambil
berlalu dan tertawa. Yang sedang diomongkan entah sadar atau tidak kalau dia
sedang diomongkan. Karena dia tidak menoleh sama sekali ke arah pintu kelas,
dan hanya tetap fokus pda HP-nya.
0 comments