Selamat jalan, Lusi (1)

by - May 07, 2012

Baru.
Ya, ketika sesuatu berakhir, pasti ada sesuatu baru dimulai. Entah sesuatu yang baru itu kita sukai atau tidak, pastilah kita harus dapat menerima, kan? Pertanyaan retoris memang, karena jawabannya pasti iya.  Aku pun merenung mengingat besok adalah hari pertamaku menjadi 8th grader. Kabarnya penempatan kelas baru ini benar-benar acak, sehingga bisa saja aku sekelas dengan anak yang sangat tak dekat denganku, atau bahkan tak kenal sama sekali. Sebenarnya bukan masalah yang besar sih, hanya sekedar memikirkan saja. Sesuatu yang baru memang butuh adaptasi. Akhirnya sebelum tidur, aku membatin, “Bismillah aja lah.”
Keesokan harinya aku berangkat dengan perasaan yang biasa saja. Ketika sampai dikelas baru, aku terkejut melihat orang-orang yang ada di dalamnya. Ternyata teman-teman kelasku selama setahun ke depan ini tidak benar-benar berbeda dari sebelumnya. Setengah dari siswa kelas itu adalah temanku dikelas yang lama, setengah yang lainnya dari kelas sebelah yang beberapa juga sudah kukenal.
“Din! Din! Sini!”, teriak Rani temanku dari bangku ketiga di tengah kelas, sambil menunjuk bangku kosong di sebelahnya. Aku yang sebelumnya memandang ke seluruh kelas pun langsung berjalan ke arahnya dengan wajah nyengir. Setelah duduk tepat di sebelah Rani, kulanjutkan pengamatanku ke kelas baru ini. Tak hanya orang-orangnya, namun juga kondisi fisik kelas. Kulihat ada Bima, Niko, Fani, Vanda, dan yang lainnya. Di pojok belakang kelas ada seorang perempuan yang duduk sendirian sambil bermain HP. Tentu saja aku kenal perempuan itu, karena dia termasuk teman sekelasku juga di kelas 7. “Masih tetap weird ternyata”, batinku dalam hati. Aku pun teringat setahun lalu, hari pertama menjadi seorang siswa kelas 7, di kelas 7D.


*****

Dua orang yang ada di depanku pun membalikkan tubuhnya ke belakang. “Lihat deh anak itu yang rambutnya hasil rebondingan yang kayak sapu itu! Aneh banget pek kelakuannya!’, ucap Lita memulai pembicarann. “Itu ta?”, tanyaku. “Oalah anak ituu, iya pek. Dia kan waktu MOS se-gugus sama aku, terus dia lho sering dimarahi sama senior soalnya mainan HP. Terus pas dimarahin gitu wajahnya gaenak banget, kayak nantang gitu”, kata Dena. “Gerak geriknya aneh gak sih? Kayak ngganjel gitu”, timpal Vanda yang duduk di sebelah Dena. Dalam hati aku pun menyetujui semua yang dikatakan teman baruku itu, karena memang tingkah laku anak berkulit sawo matang itu memang janggal. Aku pun bertanya,”Sapa namanya eh?”, “Anak itu ta? Lusi namanya.”

*******

Aku pun tersadar dari lamunannku ketika ditegur oleh Rani. Tapi aku tetap memikirkan si Lusi itu. Dari kelas 7 aku memang tak dekat dengannya. Aku tak tahu siapa yang salah, yang jelas dia memang senang menyendiri. Dulu sempat suatu hari aku mencoba untuk mmenyapanya dan memintanya kenalan, tapi jawabanynnya sangat dingin, dia hanya tersenyum terpaksa  dan mengucapkan sepatah kata saja, yaitu namanya. Belum lagi ketika mengucapkan satu kata itu, dia tak menoleh ke arahku sama sekali! Sedikit menyebalkan juga pikirku.
Rambut lurus rebondingnya itu lho! Menjadi bahan omongan banyak anak. Bahkan sampai kakak kelas terutama yang dari MOS sudah tidak suka dengannya. Dua bulan setelah MOS ada segerombolan anak kelas 8 datang ke kelasku dan bertanya yang tidak jelas kepada siapa karena keras nada bicaranya. “Eh, eh mana sih yang namanya Lusi?”, kata anak kelas 8 yang bernama Chita. Dido-lah yang menjawab pertanyaan itu karena posisinya paling dekat dengan mereka. “Itu, Mbak. Yang make earphone itu” “Oalaaaaaaah”, kata mereka sambil berlalu dan tertawa. Yang sedang diomongkan entah sadar atau tidak kalau dia sedang diomongkan. Karena dia tidak menoleh sama sekali ke arah pintu kelas, dan hanya tetap fokus pda HP-nya.

You May Also Like

0 comments