Selamat jalan, Lusi (3)

by - May 07, 2012

-->

Dua bulan berlalu setelah tugas majalah yang sangat seru itu, kami kelas 8E sedang berada di laboratorium TIK untuk pelajaran membuat video. Semua sibuk dengan komputer di hadapannya. Tak ada yang berbicara karena ini merupakan salah satu pelajaran favorit kami. Hanya ada suara mouse ketika anak meng-klik sesuatu pada monitor komputernya.
 Di tengah suasana yang hening itu, tiba-tiba terdengar suara pintu lab diketuk dari luar. Tanpa menunggu peng-iya-an dari Pak Kiki orang dari luar itu masuk ke dalam. Semua mata tertuju pada orang yang baru masuk itu, yang ternyata adalah Bu Dhatin, guru Seni Rupa. Bu Dhatin berjalan dengan wajah ganjil kearah Pak Kiki dan membisikkan sesuatu. Setelah itu dengan mengangguk Pak Kiki segera meninggalkan laboratorium. Suasana yang tadinya hening menjadi bertambah sunyi senyap karena segala keanehan itu. Tidak ada yang berani bicara.  Semua anak 8E menunggu apa yang akan terjadi. Akhirnya Bu Dhatin berdiri di tengah ruangan dan dengan suatu tarikan nafas panjang dan berat beliau mulai berbicara.
 “Assalamualaikum anak-anak. Saya mau memberitahukan sesuatu kepada kalian. Berita duka..” Kami mulai takut, berita duka apakah yang dimaksud Bu Dhatin tersebut?  Seakan semua menahan nafas, dan memasang posisi duduk lebih tegak dari sebelumnya, dan memasang wajah tegang. “Teman kalian yang bernama Lusi telah pulang ke hadapan-Nya….. Tadi pukul 10 dikarenakan penyakit leukimia. Innalillahiwainnalillahiroji’un.. Tolong dimaafkan dosanya dan tolong kalian doakan ya..”, ujar Bu Dhatin dengan wajah sangat sedih.
5 detik kemudian beliau masih berdiri di tengah ruangan, dan kemudian baru pergi. Setelah perginya Bu Dhatin dari ruangan, kami semua seperti belum bisa mencerna apa yang beliau ucapkan. Baru setelah Ayu berkata dengan suara pelan , “Apa? Lusi eh?”. Seakan kami semua merasakan hal yang sama, satu persatu pun mulai meneskan air mata, banyak sekali. Terutama anak perempuan. Kini ruangan pun berubah menjadi gaduh. Dada kami sesak, ini semua bagaikan suatu cuplikan babak dari  adegan sebuah film atau sinetron yang ada di televisi. Tapi ini nyata kawan, bukan novel ataupun film.  Dada kami sesak, mengingat segala hal buruk yang telah kami katakan mengenainya. Tuduhan buruk ketika ia tidak masuk sekolah, padahal sebenarnya dia memiliki suatu penyakit ganas di dalam tubuhnya. Bahkan tidak ada satupun dari kami yang mengetahuinya, betapa hinanya kami. Kanker.. Leukemia.. itu merupakn suatu penyakit paling mematikan di muka bumi dan tidak bisa disembuhkan. Kemana saja kami semua di saat-saat Lusi seharusnya membutuhkan pendampingan dan dukungan yang luar bisa dari orang lain. Meningat semua itu, tangis kami makin keras saja. Innalillahiwainnalillahiroji’un.. Tak ada lagi sesosok kurus berambut coklat kemerahan yang cuek dan tak peduli apa kata kakak kelas terhadapnya. Tak ada lagi sesosok yang suka memasang earphone di telinganya walaupun pelajaran sedang berlangsung. Tak ada lagi sesosok yang sangat mengidolakan Jagad ‘Mahagita’ sampai rela datang ke EBS di depan SMPN 6 Surabaya tiap hari sepulang sekolah, sampai menambahkan embel-embel “Mahagita” pada akun Facebook-nya. Tak ada.. Innalillahi….
                Sepulang sekolah semua anak kelas 8E melayat ke rumah Lusi. Termasuk Lita yang di sepanjang perjalan masih berkaca-kaca matanya. Tak lama kedatangan kami di rumah almarhumah, Mbak Chita dan kawan-kawannya juga datang. Mungkin mereka merasa bersalah atas apa yang mereka lakukan selama ini terhadap Lusi.
                Di sana almarhumah sedang dimandikan. Sesudah itu, keluarga mengizinkan kami untuk melihat almarhumah Lusi untuk yang terakhir kalinya. Ada beberapa anak yang mau masuk, ada beberapa yang tidak tega dan memilih menunggu di luar saja. Aku termasuk salah satu yang masuk ke rumah almarhumah. Di dalam tubuh Lusi terbaring di kasur putih. Terbungkus sarung kecuali bagian wajanya. Entah mengapa wajahnya terliht lebih bersinar. Setelah mendoakannya dalam hati, aku dan beberapa teman segera keluar. Aku pun teringat salah satu quote pernah kulihat dan kubaca ‘Seseorang baru terasa berarti ketika orang itu tidak ada’. Selamat jalan Lusi…

You May Also Like

0 comments